Perkenalan yang singkat itu ternyata membuatku terpikat pada mu. Kita tidak sedekat yang seperti mereka bayangkan, melainkan tersekat pada kalimat ”ya, aku hanya mengenalnya”. Aku menyukaimu lebih dulu sebelum kau tau. Aku mengagumi mu dari jauh. Ya, hanya aku yang tau. Terus terang aku mengagumi mu sangat dalam.
Tidak menyukaimu diam-diam melainkan berteriak pada tulisan. Ia adalah sahabat sejati yang mampu menyampaikan kata demi kata ketika penat yang kurasakan.
Perpisahan ini kusebut awal pertemuan kita. Tak cukup hanya mengatakan selamat tinggal saja. Aku tau, jatuh cinta dapat menyembuhkan luka dan membuat orang menjadi lebih berani. Aku mengumpulkan semua niat dan keberianku, aku mengalahkan semua egoku hanya untuk mengucapkan sebuah kalimat perpisahan. Kau tau? Ketika bibir dan mata tak sanggup mengungkapkannya, lewat tulisan aku begerak mengatakannya. Bukan kau tak berarti bagiku, hanya saja aku takut jika aku tak ada arti untukmu.
Lalu, untuk menyampaikan rasa rindu aku tak sanggup. Ia seperti ombak. Sama-sama terombang-ambing, ombak mungkin bisa tenang, lalu rindu? Mungkin bisa tenang setelah bertemu denganmu. Hatimu adalah milikmu. Kepada siapapun kau menjatuhkannya itu urusanmu. Hanya saja aku takut tak bisa menahan rasa kecewa ketika tau aku yang lebih dulu menjatuhkan hati padamu lalu kamu dengan mudahnya menjatuhkan hati pada orang yang baru ketemu. Aku seperti orang gila saat tau akan kehilanganmu meski semua orang juga tau bahwa kau belum sempat menjadi miliku.
Sebelummya, hatiku tertutup rapat. Aku memaksakan untuk membukanya berharap untuk menyembukan luka. Lalu yang kudapat adalah bertambah lagi orang yang membuatku kecewa
Aku tak akan percaya lagi meski mereka berkata jatuh cinta bisa menyembuhkan luka. Aku benci mendengarnya. Aku sakit saat merasakannya. Aku gila saat berhadapan dengannya. Bukan salah aku, dirinya ataupun mereka. Ketika hati terjatuh dalam sebuah wadah lalu terombang ambing pada sebuah ruang yang disebut rasa suka. Tidak salah ketika seseorang jatuh cinta. Haknya untuk menjatuhkan kemana ia harus jatuh. Jujur saja, aku tak mengerti kenapa mereka selalu mempersoalkan hal ini.
Tidak ada hambatan untuk jatuh tapi ada sebuah perbedaan dinding pembatas antar keinginan dan kecewa yang disebut ketakutan
Aku melihatnya, mataku tak lepas dari kemana warna bajunya bergerak. Dari kejauhan aku melihatnya, memandanginya dan menunduk malu ketika mataku terpergok oleh matanya. Melihatmu dari kejauhan lebih mudah daripada harus berhadapan dengan kenyataan yang tak sama dengan apa yang aku impikan. Menarik sekali ketika melihat orang-orang dengan mudahnya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ketakutan selanjutnya adalah ketika asa ku berharap kamu adalah segalanya namun kenyataan kita hanya sebatas orang yang saling kenal.
Ketakukan terdalam saat menyukaimu adalah hanya indah sebatas angan yang kusebut mimpi indah
Keberanian ku tak bisa ku gunakan untuk saat ini. Semakin berani, semakin aku terlihat bodoh dimatamu. Semakin besar tekadku untuk mendapatkanmu, semakin jatuh ku dihadapanmu. Ego dan harga diri tak sejalan lagi. Seperti kurva permintaan dan penawaran, begitupula saat ini. Kurasa, semakin tinggi ego ku maka semakin rendah harga diriku. Ego berlari dengan penuh harap dan impiannya hanya karena untuk memberi kabar kalau aku selalu melihatmu, begitu sangat menginginkanmu. Sekarang harga diriku semakin terinjak oleh tumit yang aku harapkan. Aku terbelenggu dalam rasa malu. Aku mati dengan kecewa di hati.