Setelah lulus S1 dan bekerja tak kusangka pertanyaan bergilir itu datang juga menghampiriku. “Kapan menikah?” Ya, pertanyaan sejuta umat yang sudah bosan didengar. Awalnya aku biasa saja menanggapi pertanyaan itu. Aku menganggap pertanyaan itu wajar dilontarkan orangtua, om dan tante. Secara, aku dan pasangan sudah menjalani hubungan selama 8 tahun, sudah sama-sama bekerja, ya tunggu apa lagi?
Tapi semakin sering om, tante dan orangtua menyuruhku untuk segera melangsungkan pernikahan, aku mulai merasa tidak nyaman, apalagi kalau ada acara pernikahan sepupu, seolah itu menjadi tanda bahwa akulah selanjutnya. Meskipun sudah memberikan alasan dengan cara yang sehalus mungkin, tetap saja mereka tetap menyuruhku.
Tapi sebenarnya menikah itu bukan hanya untuk menjawab tuntutan orang yang menanyakan perihal menikah. Simak yuk faktanya.
Pernikahan adalah ibadah terlama sepanjang hidup.
Seseorang yang siap menikah berarti ia juga sudah siap menghabiskan seluruh hidupnya bersama pasangan tersebut. Tidak hanya kelebihan, dalam kehidupan pernikahan mereka juga akan menemukan kekurangan dari masing-masing pasangan. Oleh karena itu, mereka harus ikhlas dan ridha menerima bahwa pasangannya bukanlah orang yang sempurna.
Pernikahan adalah Tanggung Jawab Besar dan Seumur Hidup.
Ketika akad terucap. Ketika seorang lelaki telah menyatakan, “saya terima nikahnya….” maka saat itu pula tanggung jawab baru dimulai. Tanggung jawab untuk menanggung istri dari mulai nafkah batin hingga lahir. Tanggung jawab untuk mendidik istri yang menjadi amanah besar. Serta tanggung jawab untuk memikul dosanya. Ya, itu semua tanggung jawab suami.
Begitu pula dengan wanita. Ketika akad terucap, maka saat itu pula tanggungan kehidupannya berpindah pada lelaki yang sudah menjadi suaminya. Segala hal yang ia lakukan, haruslah seizin ridho suami. Karena tugas orang tuanya telah usai saat ia dinikahi.
Maka, lupakan masa-masa sendiri dulu yang bisa berlaku sesukanya. Sebebas-bebasnya. Karena kini, usai menikah, kita punya tanggung jawab besar untuk memenuhi segala hak pasangan dan kewajiban diri. Terlebih saat sudah dikaruniai anak, maka ada amanah baru lagi yang harus kita tunaikan. Mengasuhnya, mendidiknya hingga menjadikannya anak yang berakhlak baik.
Ketidak Cocokan Bukan Alasan Mengubah Kata Sah Menjadi Tidak Sah
Jangan jadikan kalimat Ketidak cocokan alasan mengakhiri sebuah hubungan dalam berumah tangga. Bukankah sebelum memulai semuanya kita sudah saling berkomitmen untuk terus melaju bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Lalu kenapa ketika sudah sekian lamanya bersama kata-kata itu sering kali menjadi sebuah alasan yang seenaknya digunakan untuk mengakhiri semuanya.
Tidak semudah itu mengambil keputusan dalam memperbaiki keadaan yang sedang terjadi, selalu ingatlah manis dan perjuangan sebelum sampai pada ttitk pernikahan yang mengikat kita. Ketidak cocokan sebenarnya hanya pembungkus kata bosan, ketika kita sudah mulai jenuh memperjuangkan keadaan.
Artikel ini diolah dari berbagai sumber, semoga bermanfaat dan jangan lupa untuk share.