Kadang kala, aku yang tak tahan dengan kata-kata mereka merasa tak bermakna. Apa yang salah dengan diriku? Hingga suatu waktu mereka sering meledekku tak laku. Atau bahkan, pasanganku tak memiliki paras yang menyenangkan di pandang. Kadang kala, aku kemudian berkaca mengapa mereka berkata demikian. Apakah karena parasku yang benar-benar tak cantik atau karena aku yang terlalu tidak memikirkan rupa terhadap siapa yang berkenan tulus terhadapku?
Hingga suatu hari, setelah jeda yang sangat lama aku berkeinginan untuk mendapatkan ia yang bagus rupa menurut kebanyakan manusia. Aku pikir ketika aku mendapatkan ia yang bagus rupa, semua ejekan itu akan mereda. Sayangnya tidak juga. Mereka kini mengejekku lebih dari sebelumnya. Berkata aku tak pantas menjadi seperti cinderella. Lalu, harus yang seperti apa ?
Biarkan Waktu Yang Berbicara, Lagipula Bahagia Bukan Dari Komentar Mereka
Aku lelah. Seperti terjebak pada kata-kata mereka yang sejatinya tak menjadikan hidupku lebih baik dari sebelumnya. Lagipula, bagus rupa tak menjamin rasa bahagia. Pun dengan standar pasangan lainnya. Karena kita, selalu punya cara pandang yang berbeda, terhadap rasa serta perilaku manusia lainnya.
Biarkan Tuhan yang tahu, yang menentukan waktu terbaiknya tiba. Pada siapa langkah ini berhenti sejenak, menyambut ia yang berkenan berjalan bersama. Pada siapa cerita ini kan bermuara, pada telinga yang dengan sedianya menjadi pendengar dan pemberi saran setia. Biarkan pada siapa tulang rusuk ini bertemu dengan tulang punggungnya.

Lagipula, hidup ini tak melulu dengan sendiri atau berpasangan. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Sembari menanti waktu terbaik yang Tuhan berikan tiba. Pada saat yang Tuhan percaya memanglah tepat waktunya. Dan lagi, standar setiap manusia takkan pernah sama. Apa yang membuat bahagia pun takkan sama. Jadi, lepaslah, jangan tenggelam pada komentar mereka. Langkahmu harus tetap tegap, berbagi kesegala penjuru, bertemu orang-orang baru.
Rasa Datang Karena Terbiasa. Biarlah Pada Akhirnya Diri Ini Tahu Akan Berlabuh Kepada Yang Seperti Apa
Kamu, tidak tampan. Itu yang ku pikirkan sejak pertama bertemu denganmu. Bahkan mungkin, kamu jauh dari standar orang-orang kebanyakan yang mencari ketampanan. Tetapi, entah mengapa, aku merasa bahwa kamu adalah apa yang ku butuhkan. Si telinga pendengar dan pemberi saran, yang tetap tegak melangkah membersamai, yang membuat tenang hati.
Rasa kita, hadir karena terbiasa. Mungkin itulah kita. Aku pun tak berani berkata jika aku mencintaimu pada kesan pertama. Terlalu cepat dan sulit di percaya rasanya. Tetapi, yang ku tahu bahwa semakin hari ku mengenalmu, semakin banyak yang ku tahu, aku semakin takjub terhadapmu. Dengan apa yang ku tahu tentangmu, dengan setiap waktu yang tak selalu bahagia dan disitu masih kutemukanmu.
Mungkin, aku bukan cinderella yang menemukan pangeran tampannya. Aku hanyalah perempuan biasa yang menemukan rumah terbaik untuk tinggal setelah sekian lama. Menyembuhkan luka perlahan, merebah karena lelah, lalu menjadi diriku yang sebagai mana mestinya. Semoga tak hanya aku, yang bersyukur karena menemukanmu. Semoga rasa kita sama. Menjalin kasih dalam syukur yang tak hingga karena saling menemukan satu dengan lainnya, saling melengkapi, dan tetap berusaha memahami.
Hadirmu membuatku semakin yakin, bahwa rupa tak melulu bahagia. Karena ia tetap memerlukan cinta, kasih, pemahaman, pemakluman, dan maaf saling memaafkan dari satu dan lainnya